SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 19 Agustus 2010

Merdeka dalam Pendidikan: Hak Rakyat yang Terabaikan


Pada jaman kolonial tidak banyak pribumi desa yang bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Meski secara intelektual, motivasi maupun keuangan mereka mampu, namun faktanya sedikit orang yang bisa meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi. Salah satu penyebab adalah dibatasinya kursi bagi pribumi untuk belajar di sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Ketika itu, pribumi yang bersekolah di sana hanya berasal dari golongan tertentu, umpamanya : keturunan bangsawan atau anak-anak pejabat ambtenaar.
Dibandingkan anak-anak bangsa lain yang tinggal di Hindia-Belanda, kesempatan belajar pribumi relatif lebih kecil. Dalam Sejarah Pendidikan Indonesia karangan Prof. Dr. S. Nasution M.A. dikemukakan : pada tahun 1930 anak Belanda berkesempatan 100 kali lebih baik untuk sekolah di M.U.L.O, 1000 kali lebih baik untuk bersekolah di sekolah tingkat menengah atau atas, dibandingkan anak-anak pribumi Indonesia. Begitupun anak-anak Tionghoa. Anak-anak Cina berkesempatan 15 kali lebih banyak untuk masuk sekolah berbahasa Belanda, 10 kali lebih berkesempatan belajar di M.U.L.O, 35 kali lebih berkesempatan melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi menengah/atas, daripada anak-anak pribumi asli.
Selain faktor pembatasan, akses lembaga pendidikan bagi pribumi tidak merata di seluruh propinsi, terutama setelah tahun 1892. Mulai tahun tersebut lembaga pendidikan maupun sekolah lanjutan hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa. Hingga tahun 1930, M.U.L.O, sekolah pertama yang membuka kesempatan luas bagi lulusan E.L.S dan H.I.S dari pribumi atau Indo-Belanda, nyaris hanya terdapat di Pulau Jawa saja. Kenyataan tersebut memaksa anak-anak luar pulau merantau ke Jawa untuk meneruskan sekolah. Tapi tidak semua anak rantau bisa menyelesaikan sekolahnya. Keterbatasan biaya membuat anak-anak sekolah rendah yang melanjutkan sekolah putus di kelas I atau di kelas II.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada pola pendidikan barat tergolong mahal untuk saku pribumi. Rata-rata pribumi kita,apalagi yang berasal dari luar pulau Jawa, tidak begitu besar penghasilannya. Pada umumnya pendapatan mereka, tidak ada yang melebihi f 150,- sebulan. Seperempat pendapatan orangtua kerap dikorbankan untuk keberlangsungan pendidikan sang anak. Tambah berat bagi anak-anak daerah yang merantau. Orangtua mesti mempersiapkan ongkos pemondokan, transport, juga sandang-pangan bagi anak-anaknya yang bersekolah di Jawa.
Kesenjangan pendidikan antara anak-anak Belanda dengan anak-anak Indonesia, memang terlihat begitu kentara. Waktu kesempatan belajar bagi kalangan anak pribumi diperluas, tetap saja anak-anak Belanda lebih maju beberapa langkah dibandingkan bocah pribumi. Beban bagi pribumi bukan semata-mata soal pembatasan, kurikulum, biaya pendidikan atau akomodasi bagi anak-anak daerah yang melanjutkan sekolah jauh dari pulau kelahiran. Fakta sejarah mengungkapkan, bahwa anak Belanda memang lebih dulu mengecap pendidikan dasar, menengah dan atas (akhir abad 19). Kira-kira lebih cepat setengah abad dari anak-anak Indonesia.
Berbagai masalah yang membebani anak-anak Indonesia dalam melanjutkan pendidikan di era kolonial, berdampak pada kelangkaan sumber daya bumiputera yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi lokal. Hanya 91 orang Indonesia yang tercatat di tiga perguruan tinggi yang ada pada tahun 1930. Dan menjelang berakhirnya penjajahan kolonial Belanda, jumlah orang Indonesia yang menyandang predikat mahasiswa hanya 3 orang/1 juta penduduk. Artinya, hanya 167 orang Indonesia yang belajar di perguruan tinggi ketika itu.
Jauh melampaui era kolonial, pendidikan layak ternyata masih menjadi beban berat bagi sebagian masyarakat. Semenjak komersialisasi (tahun 2000) menjangkiti perguruan tinggi- tak hanya perguruan tinggi swasta- makin banyak orangtua yang jengah disaat anaknya perlu biaya melanjutkan sekolah. Masih serupa dengan jaman kolonial dulu, perguruan tinggi yang dianggap credible-pun kebanyakan masih terdapat di Pulau Jawa. Universitas luar Jawa yang dianggap credible masih bisa dihitung jari. Beberapa diantaranya adalah : Universitas Sriwijaya (Palembang), Universitas Hasanuddin (Makassar), atau Universitas Udayana (Bali).
Jaman memang sudah jauh berubah. Tak ada pembatasan diskriminatif bagi siapapun untuk memilih perguruan tinggi. Hanya saja, biaya pendidikan, khususnya untuk perguruan tinggi yang selalu membengkak dari tahun ke tahun, membuat masyarakat golongan bawah sulit mengakses pendidikan yang layak. Ya. Jaman memang sudah berubah. Namun masyarakat berpenghasilan rendah, golongan bawah yang masih berada dibawah garis kemiskinan, tidak banyak berubah nasibnya. Sistem pendidikan kolonial telah bersalin rupa menjadi sistem pendidikan komersial. Sehingga akses kesana membutuhkan dana yang tidak sedikit. Itulah kenyataan yang mesti dihadapi masyarakat kecil di Indonesia. Pendidikan tinggi masih sebuah mimpi, sebuah ketidak-niscayaan dalam prasangka anak pribumi.(aea)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar