SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 26 Agustus 2010

COOPERATIVE LEARNING

A. Cooperative Learning

1. Pengertian Cooperative Learning

Model Pembelajaran cooperative learning (MPCL) beranjak dari dasar pemikiran "getting better together", yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat. Melalui MPCL, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam PBM, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya, dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain. Proses pembelajaran dengan MPCL ini mampu merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa (Stahl, 1994). Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (peer group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative).

2. Unsur-unsur dan Ciri-ciri Cooperative Learning

Menurut Lundgren (Sukarmin, 2002:2), Unsur-unsur dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar cooperative learning lebih efektif adalah sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”
b. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya diantara anggota kelompok.
e. Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Sementara itu, menurut Nur (2001: 3) pembelajaran yang menggunakan model cooperative learning pada umumnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.


3. Model Cooperative Learning

Beberapa model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
a. Student teams achievement division (STAD)
Langkah-langkah:
1) Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang.
2) Guru menyajikan materi pelajaran.
3) Guru memberi tugas untuk dikerjakan, anggota kelompok yang mengetahui jawabannya memberikan penjelasan kepada anggota kelompok.
4) Guru memberikan pertanyaan/kuis dan siswa menjawab pertanyaan/kuis dengan tidak saling membantu.
5) Pembahasan kuis
6) Kesimpulan
b. Jigsaw (model tim ahli)
Langkah-langkah:
1) Siswa dikelompokkan dengan anggota 4 orang
2) Tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda
3) Anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli)
4) Setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang subbab yang mereka kuasai
5) Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
6) Pembahasan
7) Penutup
c. Group investivigation go a round
Langkah-langkah:
1) Membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 siswa
2) Memberikan pertanyaan terbuka yang bersifat analitis
3) Mengajak setiap siswa untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan kelompoknya secara bergiliran searah jarum jam dalam kurun waktu yang disepakati.
d. Think pair and share
Langkah-langkah:
1) Guru menyampaikan inti materi
2) Siswa berdiskusi dengan teman sebelahnya tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
3) Guru memimpin pleno dan tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
4) Atas dasar hasil diskusi, guru mengarahkan pembicaraan pada materi/permasalahan yang belum diungkap siswa
5) kesimpulan
e. Make a match (membuat pasangan)
Langkah-langkah:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep/topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu berupa kartu soal dan sisi sebaliknya berupa kartu jawaban)
2) Setiap siswa mendapat satu kartu dan memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.
3) Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu soal/kartu jawaban)
4) Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
5) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya
6) Kesimpulan.

B. Motivasi
Salah satu aspek psikologis yang ada pada diri seseorang adalah motivasi. Menurut Egsenck (Slameto, 2003:170) motivasi merupakan suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsisten, serta arah umum dari tingkah laku manusia. Seseorang termotivasi atau terdorong untuk melakukan sesuatu karena adanya tujuan atau kebutuhan yang hendak dicapai. Tujuan atau kebutuhan tersebut akan mengarahkan perilaku seseorang.

Maslow mengidentifikasikan 2 jenis kebutuhan,yaitu kebutuhan dasar dan meta kebutuhan (Anni, 2004:123). Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan akibat kekurangan (deficiency needs). Sedangkan meta kebutuhan adalah kebutuhan untuk pertumbuhan (growth needs). Setiap individu termotivasi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dari hierarki paling bawah berupa kebutuhan untuk mempertahankan hidup sampai pada kebutuhan tertinggi, yaitu aktualisasi diri.

Motivasi berdasarkan sifatnya menurut Sardiman (1987) ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu ada perangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, tingkah laku yang dilakukan seseorang disebabkan oleh kemauan sendiri bukan dorongan dari luar.
b. Motivasi Ekstrinsik.
Motivasi ekstrinsik merupakan motif yang aktif dan berfungsi karena adanya dorongan atau rangsangan dari luar. Tujuan yang diinginkan dari tingkah laku yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik terletak diluar tingkah laku tersebut.

Kenneth H. Hover (Sardiman, 1987) mengungkapkan bahwa motivasi yang berasal dari dalam diri individu (Intrinsik) lebih efektif dari pada motivasi yang dipaksa dari luar (ekstrinsik). Hal ini berdasarkan kepuasan yang diperoleh individu itu sesuai dengan ukuran yang ada dalam diri individu itu sendiri. Walaupun demikian, motivasi ekstrinsik tetap diperlukan, sebab keadaan seseorang itu bersifat dinamis (berubah-ubah), terkadang mempunyai motivasi yang tinggi, kadang mempunyai motivasi yang rendah bahkan motivasi tersebut hilang sama sekali. Dengan adanya motivasi ekstrinsik tersebut pada akhirnya akan mendukung motivasi intrinsik yang telah ada, bahkan dapat ikut membangkitkannya. Dengan demikian, sebagai daya pengggerak yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat penting karena motivasi tersebut akan menentukan intensitas usaha yang dilakukan seseorang.

Secara garis besar, bahwa dengan memiliki motivasi yang besar maka terjadi proses pengungkapan potensi diri, proses peningkatan potensi, dan proses pemanfaatan potensi. Maka ketika memanfaatkan potensi unggul yang dimiliki akan muncul kreativitas individu atau motivasi kelompok. Pada akhirnya kreativitas tersebut menghasilkan kinerja (performance) yang efektif dan efisien sehingga kita memperoleh akutalisasi yang baik.

Kamis, 19 Agustus 2010

Merdeka dalam Pendidikan: Hak Rakyat yang Terabaikan


Pada jaman kolonial tidak banyak pribumi desa yang bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Meski secara intelektual, motivasi maupun keuangan mereka mampu, namun faktanya sedikit orang yang bisa meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi. Salah satu penyebab adalah dibatasinya kursi bagi pribumi untuk belajar di sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Ketika itu, pribumi yang bersekolah di sana hanya berasal dari golongan tertentu, umpamanya : keturunan bangsawan atau anak-anak pejabat ambtenaar.
Dibandingkan anak-anak bangsa lain yang tinggal di Hindia-Belanda, kesempatan belajar pribumi relatif lebih kecil. Dalam Sejarah Pendidikan Indonesia karangan Prof. Dr. S. Nasution M.A. dikemukakan : pada tahun 1930 anak Belanda berkesempatan 100 kali lebih baik untuk sekolah di M.U.L.O, 1000 kali lebih baik untuk bersekolah di sekolah tingkat menengah atau atas, dibandingkan anak-anak pribumi Indonesia. Begitupun anak-anak Tionghoa. Anak-anak Cina berkesempatan 15 kali lebih banyak untuk masuk sekolah berbahasa Belanda, 10 kali lebih berkesempatan belajar di M.U.L.O, 35 kali lebih berkesempatan melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi menengah/atas, daripada anak-anak pribumi asli.
Selain faktor pembatasan, akses lembaga pendidikan bagi pribumi tidak merata di seluruh propinsi, terutama setelah tahun 1892. Mulai tahun tersebut lembaga pendidikan maupun sekolah lanjutan hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa. Hingga tahun 1930, M.U.L.O, sekolah pertama yang membuka kesempatan luas bagi lulusan E.L.S dan H.I.S dari pribumi atau Indo-Belanda, nyaris hanya terdapat di Pulau Jawa saja. Kenyataan tersebut memaksa anak-anak luar pulau merantau ke Jawa untuk meneruskan sekolah. Tapi tidak semua anak rantau bisa menyelesaikan sekolahnya. Keterbatasan biaya membuat anak-anak sekolah rendah yang melanjutkan sekolah putus di kelas I atau di kelas II.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada pola pendidikan barat tergolong mahal untuk saku pribumi. Rata-rata pribumi kita,apalagi yang berasal dari luar pulau Jawa, tidak begitu besar penghasilannya. Pada umumnya pendapatan mereka, tidak ada yang melebihi f 150,- sebulan. Seperempat pendapatan orangtua kerap dikorbankan untuk keberlangsungan pendidikan sang anak. Tambah berat bagi anak-anak daerah yang merantau. Orangtua mesti mempersiapkan ongkos pemondokan, transport, juga sandang-pangan bagi anak-anaknya yang bersekolah di Jawa.
Kesenjangan pendidikan antara anak-anak Belanda dengan anak-anak Indonesia, memang terlihat begitu kentara. Waktu kesempatan belajar bagi kalangan anak pribumi diperluas, tetap saja anak-anak Belanda lebih maju beberapa langkah dibandingkan bocah pribumi. Beban bagi pribumi bukan semata-mata soal pembatasan, kurikulum, biaya pendidikan atau akomodasi bagi anak-anak daerah yang melanjutkan sekolah jauh dari pulau kelahiran. Fakta sejarah mengungkapkan, bahwa anak Belanda memang lebih dulu mengecap pendidikan dasar, menengah dan atas (akhir abad 19). Kira-kira lebih cepat setengah abad dari anak-anak Indonesia.
Berbagai masalah yang membebani anak-anak Indonesia dalam melanjutkan pendidikan di era kolonial, berdampak pada kelangkaan sumber daya bumiputera yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi lokal. Hanya 91 orang Indonesia yang tercatat di tiga perguruan tinggi yang ada pada tahun 1930. Dan menjelang berakhirnya penjajahan kolonial Belanda, jumlah orang Indonesia yang menyandang predikat mahasiswa hanya 3 orang/1 juta penduduk. Artinya, hanya 167 orang Indonesia yang belajar di perguruan tinggi ketika itu.
Jauh melampaui era kolonial, pendidikan layak ternyata masih menjadi beban berat bagi sebagian masyarakat. Semenjak komersialisasi (tahun 2000) menjangkiti perguruan tinggi- tak hanya perguruan tinggi swasta- makin banyak orangtua yang jengah disaat anaknya perlu biaya melanjutkan sekolah. Masih serupa dengan jaman kolonial dulu, perguruan tinggi yang dianggap credible-pun kebanyakan masih terdapat di Pulau Jawa. Universitas luar Jawa yang dianggap credible masih bisa dihitung jari. Beberapa diantaranya adalah : Universitas Sriwijaya (Palembang), Universitas Hasanuddin (Makassar), atau Universitas Udayana (Bali).
Jaman memang sudah jauh berubah. Tak ada pembatasan diskriminatif bagi siapapun untuk memilih perguruan tinggi. Hanya saja, biaya pendidikan, khususnya untuk perguruan tinggi yang selalu membengkak dari tahun ke tahun, membuat masyarakat golongan bawah sulit mengakses pendidikan yang layak. Ya. Jaman memang sudah berubah. Namun masyarakat berpenghasilan rendah, golongan bawah yang masih berada dibawah garis kemiskinan, tidak banyak berubah nasibnya. Sistem pendidikan kolonial telah bersalin rupa menjadi sistem pendidikan komersial. Sehingga akses kesana membutuhkan dana yang tidak sedikit. Itulah kenyataan yang mesti dihadapi masyarakat kecil di Indonesia. Pendidikan tinggi masih sebuah mimpi, sebuah ketidak-niscayaan dalam prasangka anak pribumi.(aea)